Mutiara Hadist

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Seuntai Kenangan

Senin, 23 Juli 2007

Manfaat Sedekah

“Seseorang di antara kalian akan berbicara langsung dengan Tuhannya, padahal di antara dia dengan Tuhannya tidak ada juru bahasa. Kemudian ia melihat ke kanan, tiada terlihat kecuali amal yang pernah diperbuatnya. Ia melihat ke kiri tiada terlihat kecuali amal yang pernah diperbuatnya; dan ia melihat ke depan, tiada yang terlihat kecuali api yang tepat di depannya. Maka hindarilah oleh kalian siksa api neraka walaupun dengan bersedekah saparuh biji kurma” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Selengkapnya..

Jumat, 20 Juli 2007

Meluruskan Aqidah

Hadist ini adalah hadist Qudsi:"Dari Zaid bin Khalid Al Juhanni ra., ia berkata : Rasulullah saw shalat Subuh untuk kami di Hudaibiyah mengiringi langit malam. Ketika Nabi saw. berpaling, beliau menghadap ke arah orang-orang seraya bersabda : "Apakah kalian mengctahui sesuatu yang difirmankan oleh Tuhanmu ?". Mereka menjawab : "Allah dan RasulNya lebih mengetahui" Dia berfirman : "Dari hambaKu ada vang masuk pagi beriman kepadaKu dan sorenya kafir". Adapun orang yang berkata : "Kami diberi hujan dengan karunia dan rahmat Allah". Itulah yang beriman kepadaKu dan kafir terhadap bintang. Adapun orang yang berkata : "Kami diberi hujan karena bintang ini dan ini"., itulah orang yang kafir kepadaKu dan Iman kepada bintang". (Hadits ditakhrij oleh Al Bukhari).
Baca Selengkapnya..

Rabu, 18 Juli 2007

Meluruskan Shaf Dalam Shalat

Dari Nu'man bin Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya kamu sekalian meluruskan shaf-shafmu atau Allah memalingkan antara muka-mukamu."(HR: Bukhari)

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda: "Imam itu dijadikan untuk diikuti. Karena itu janganlah kamu menyalahinya. Apabila dia ruku, maka rukulah kamu. Apabila dia membaca Sami'allahu liman hamidah, maka bacalah Rabbana laka hamdu. Dan apabila dia sujud, maka sujudlah kamu. Apabila dia duduk, maka duduklah kamu semua. Dan luruskan shaf (barisan) dalam shalat, sesungguhnya meluruskan shaf itu sebaik-baik shalat." (HR: Bukhari)

Dari Anas bin Malik bahwasanya ia datang di Madinah lalu ditanyakan kepadanya: "Apakah ada sesuatu yang kamu ingkari (yakni suatu perbuatan) dari apa saja yang kita semua lakukan sejak hari kamu bergaul bersama Rasulullah saw.?" Ia berkata: "Aku tidak mendapatkan sesuatu perubahan kecuali kalian tidak meluruskan shaf (barisan) pada waktu shalat." (HR: Bukhari)


Dari tiga hadist ditas jelaslah bahwa meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat sesuatu keharusan klo boleh mungkin diwajibkan.

Ada sebuah pengalaman yang berhubungan dengan masalah meluruskan Shaf dalam Shalat.
Kisah ini terjadi di sebuah Kapal Penumpang milik PELNI, di kapal tersebut ada sebuah masjid di dek (lantai) 5, pada saat itu kebetulan jumlah penumpang yang naik sangat banyak sehingga kapasitas masjidpun tidak mampu untuk menampung jamaah yang hendak melaksanakan shalat Duhur pada saat itu.

"Para jamaah dimohon berdiri, tolong isi shaf-shaf yang masih kosong dan rapatkan shaf nya", begitu pengumuman yang disampaikan oleh pengurus Masjid At-Taawun nama mesjid itu. Setelah dilihatnya jamaah sudah merapatkan dan meluruskan Shafnya, "para jamaah silahkan duduk kembali" begitulah pengumuman berikutnya yang di umumkan karena memang waktu shalat belum masuk. Dan akhirnya giliran tiba shalat jamaah sudah siap dengan shaf yang rapat dan lurus.

Ini lain lagi kisahnya ketika shalat di mushola dekat kost (Kontrak Rumah) disaat iqomat telah dikumandangkan jamaah yang hanya berjumlah beberapa orang pun mengambil posisi masing-masing yaitu tepat di tengah-tengah sajadahnya (Karpet yang telah di bentuk seperti sajadah) masing-masing, yang otomatis jarak mamum yang satu dengan yang lainsangat jarang, jika seharusnya shaf itu jika di rapatkan mampu menampung 10-12 orang karena mengikuti sajadah tersebut hanya mampu menampung 5-6 orang saja.

Melihat seperti itu saya mencoba untuk merapatkan shaf sehingga kaki (jari kelingking kaki) menyentuh jari kelingking kaki jamaah samping saya. namun apa yang dikatakan "Mas inikan sudah satu-satu gak usah rapat-rapat dong!", kata jamaah tersebut yang notabene nya dia seorang haji. Bahkan ada salah satu ustad dalam ceramahnya mengatakan bahwa dia suka risih kalau ada jamaah yang shalat sampingnya lalu merapat padanya, dan masih banyak lagi pengalamn yang serupa mengenai hal meluruskan shaf dalam Shalat.


Ya, masalah rapat dan lurus shaf dalam shalat memang banyak kurang perhatian pada kebanyakan (maaf)muslim di Indonesia, dan ini menjadi salah satu keprihatinan kenapa dari hal yang kecil saja kita tidak mampu melakukannya?

Mungkin inilah penyebab tidak bersatunya umat islam dalam satu suara, satu tekad, satu jamaah, dan satu-satu yang lainnya. Terutama dalam menegakkan Kalimat Allah di muka bumi Indonesia ini, karena masih terpecah hati-hati mereka, ini terlihat dari cara-cara ia Shalat.

Bisa jadi ini adalah kurang pahamnya dan atau memang kebiasaan seperti itu sehingga ketika kita mencoba untuk meluruskannya merasa hal yang aneh.

Mari kita luruskan shaf shalat kita dari diri kita, semoga dengan lurus dan rapatnya shaf membuat hati-hati kita tertaut menjadi muslim kaffah. Amin
Baca Selengkapnya..

Kamis, 12 Juli 2007

Tindak Lanjut Syahadat

“Islam dibangun atas lima pilar:
1. Persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah.
2. Mendirikan Shalat.
3. Mengeluarkan Zakat.
4. Melaksanakan Ibadah Haji.
5. Berpuasa ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadist diatas kita sering mengenalnya denga istilah rukun Islam.
Dengan rukun Islam tersebut menggambarkan bahwa persaksian tiada tuhan selain Allah dan muhammad Utusan Allah (dikenal dengan dua kalimah Syahadat) adalah kunci atau pintu gerbang seseorang yang menginginkan memasuki Islam. Ini merupakan perjanjian antara Allah, Rasul dan kita sebagai pemeluk ajaran Islam.
Seteleh melakukan persaksian (Syahadat) maka tindak lanjut dari itu adalah shalat. Shalat adalah landasan pokok hubungan manusia dengan sang penciptanya dan merupakan aktualisasi makna iman yang bersemayam di Qolbuya. Shalat merupakan perwujudan nyata dari keimanan kepada yang Gaib. Dan Shalat juga syarat tegaknya keislaman seseorang serta menentukan qualitas istiqomahnya kepada ajaran Allah.

Setelah mempunyai landasan pokok yang kuat maka hal berikutnya adalah kewajiban mengeluarkan zakat. Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang pungungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Allah lah yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran harta. Karena itu merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan bukan seluruhnya, sebagai mana yang di pahami sebagian orang selama ini.

Yang berikutnya adalah puasa Ramadhan yang merupakan simbol pengendalian nafsu dan jalan menuju taqwa. Semua orang berakal menyadari, jika dalam segala hal mempertaruhkan nafsu serakahnya serta dapat mewujudkannya, maka tak pelak lagi kemanusiaan dalam waktu singkat akan berakhir, dan kehidupan ini akan dilanda kehancuran yang mengerikan.

Setelah kita memasuki pintu gerbang sebagi muslim (Syahadat), juga kita mempunyai landasan pokok serta mengaplikasikan dalam keseharian kita berupa Shalat, Zakat, Puasa maka kini giliran Haji yang harus ditunaikan bagi yang mampu.
Haji adalah simbol persatuan umat Islam (Ukhuah Islamiah), tanpa memandang Ras, warna kulit, dan kebangsaan. Karena dasar persatuan kaum muslimin adalah Aqidah, agama dan Syariat Islam. Haji juga adalah simbol yang terbentuk dari berbagai amalan, penyerahan manusia kepadaNya.

Semoga kelima pilar tersebut kita mampu untuk melaksanaknya dengan maksimal. Amin ya Robbal Alamin.

**Ref: Hadist Arbain (Imam An-nawawi), Al-Islam tindak lanjut Shadat (Said Hawwa)

Baca Selengkapnya..

Senin, 09 Juli 2007

Laa Ilaaha Illallah

"Dari Abu Huraidah ra., ia berkata: Saya berkata kepada Rasulullah saw.:"Wahai Rasulullah, siapakan orang yang paling bahagia dengan syafa'at engkau pada hari kiamat?" Rasulullah saw. Bersabda:"Sungguh saya telah menduga Wahai Abu Hurairah agar seorang tidak bertanya kepadaku tentang hal-hal ini lebih dahulu dari padamu karena saya mengetahui kelobaanmu terhadap hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafa'atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan:"LAA ILAAHA ILLALLAH" (Tidak ada Tuhan melankan Allah) dengan tulus dari hatinya atau jiwanya."
(HR: Bukhari)

Hadis tersebut menggambarkan bahwa orang yang mengakui bahwa tiada Illah selain Allah maka ia akan mendapatkan safaat dari Rasululah saw. Dengan demikian bahwa sangat jelas bahwa hanya orang-orang Islam/Muslim lah yang akan mendapatkan itu.

Namun yang jadi renungan kita adalah sudahkah kita mengucapkan Laa Ilaaha Illallah itu sesuai dengan apa yang Rasululah kehendaki?? yaitu dengan tulus dari hati atau jiwanya?? Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing!

Semoga kita termasuk orang yang tulus dalam mengucapkan Laa Ilaaha Illallah terlebih di saat ajal menjemput sehingga menjadi Khusnul Khotimah (Baik di akhir hayat), dan mendapatkan syafaatnya Rasululah saw. Amin ya robal Alamin

Berikut ini adalah beberapa syarat bersyahadat (Laa Ilaaha Illallah):

1. Berilmu

Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk bersyahadt adalah berilmu. Firman Allah:" Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah".(QS. Muhammad: 19).

2. Yaqin

Dalil mengenai yakin adalah firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orng-orang yang benar"

3. Ikhlas

Firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Az Zumar ayat 3: "Ingatlah hanya bagi Allah agama yang murni (dari kesyirikan dan penuh keikhlasan". (QS AZ Zumar: 3)

4. Shidq

Alif laam miim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?, Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta". (QS Al Ankabut :1-3)

5. Mahabbah (Cinta)

Firman Allah:
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

6. Inqiyad (Tunduk)

Landasannya adalah Firman Allah:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS An Nisa: 65)

7. Qabul (Menerima)

"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya. Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." **Pocket Agenda Muslim (Qisty)

Baca Selengkapnya..

Selasa, 03 Juli 2007

Malu Pada Allah

“Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Abu Daud)
Hadist ini memberikan petunjuk berharga kepada kita bahwa kendali moral itu terletak pada rasa malu. Jika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, niscaya pelanggaran hukum dan moral menjadi hal biasa, tanpa ada rasa bersalah dan dosa.
Malu pada tempatnya adalah kunci keutamaan. Rasa malu membuat seorang muslim bersikap hati-hati untuk tidak melanggar larangan Allah SWT. Rasa malu mengantarkan kita pada sikap Iffah, yaitu memelihara diri dari sifat tidak terpuji dan menjaga martabat bagi seorang muslim, sehingga kita selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa.

Rasulullah pernah memberikan nasihat kepada para sahabatnya, “Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Para sahabat menimpali, “Allhamdulilah kami sudah merasa malu kepada Allah.” Rasulullah lalu menyatakan, “Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul mersa malu kepada Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiranya), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana, siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah.”(HR. At-Tirmidzi).

Sungguh kesadaran untuk merasa malu kepada Allah itu sangat penting, baik bagi rakyat, lebih-lebih bagi pejabat. Sebagai rakyat kita merasa malu kepada Allah karena belum sepenuhnya mampu menaati perintah dan larangan-Nya dan belum mampu berbuat banyak untuk kemajuan bangsa. Para pejabat mestinya juga merasa malu kepada Allah karena banyak amanah rakyat yang belum di wujudkan. Janji-janji sewaktu kampanye belum banyak dilaksanakan. Kebijakan yang diambil masih banyak melukai rasa keadilan rakyat.

Malu itu perisai diri. Merasa malu kepada Allah berarti membentengi diri dengan meneladani akhlak Allah sebagaimana tercermin dalam Asmaul Husna. Rasulullah adalah teladan pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah yang sangat tinggi, sehingga beliau tidak mau merepotkan rakyatnya.

Jadi, mari kita malu pada tempatnya. Malu jika anak kita rajin shalat, sementara kita tidak. Malu jika banyak anak negri ini tidak dapat bersekolah, sementara kita yang kebetulan wakil rakyat atau pejabat publik sibuk minta fasilitas. *Republika
Baca Selengkapnya..

Jumat, 08 Juni 2007

Al Quran Sebagai Pembela di Akhirat

Abu Umamah r.a. berkata : "Rasulullah S.A.W telah menganjurkan supaya kami semua mempelajari Al-Qur'an, setelah itu Rasulullah S.A.W memberitahu tentang kelebihan Al-Qur'an."
Telah bersabda Rasulullah S.A.W : Belajarlah kamu akan Al-Qur'an, di akhirat nanti dia akan datang kepada ahli-ahlinya, yang mana di kala itu orang sangat memerlukannya."
Ia akan datang dalam bentuk seindah-indahnya dan ia bertanya, " Kenalkah kamu kepadaku?" Maka orang yang pernah membaca akan menjawab : "Siapakah kamu?"

Maka berkata Al-Qur'an : "Akulah yang kamu cintai dan kamu sanjung, dan juga telah bangun malam untukku dan kamu juga pernah membacaku di waktu siang hari."
Kemudian berkata orang yang pernah membaca Al-Qur'an itu : "Adakah kamu Al-Qur'an?" Lalu Al-Qur'an mengakui dan menuntun orang yang pernah membaca mengadap Allah S.W.T. Lalu orang itu diberi kerajaan di tangan kanan dan kekal di tangan kirinya, kemudian dia meletakkan mahkota di atas kepalanya.
Pada kedua Ayah dan Ibunya pula yang muslim diberi perhiasan yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda, sehingga keduanya bertanya : "Dari manakah kami memperolehi ini semua, pada hal amal kami tidak sampai ini?"

Lalu dijawab : "Kamu diberi ini semua kerana anak kamu telah mempelajari Al-Qur'an."
Baca Selengkapnya..

Selasa, 10 April 2007

Ikhlas Dalam Beramal

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsah Umar bin Khatab ia berkata aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijranya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasulnya dan barang siapa yang hijrahnya untuk kesenangan dunia yang didapatnya, atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang diniatkannya.” (Muttafaq ‘Alaih).

Niat merupakan suatu keharusan dalam suatu perbuatan baik itu yang ditujukan pada perbuatan itu sendiri, seperti shalat, maupun sesuatu yang menjadi sarana bagi perbuatan lainnya, misalnya thaharah (bersuci). Yang demikian itu, karena ikhlas tidak tergambar wujudnya tanpa adanya niat. Niat itu tempatnya didalam hati dan tidak perlu dilafazhkan dengan lisan. Yang demikian itu sudah menjadi kesepakatan para ulama, dalam semua ibadah, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, pemerdekaan budak, jihad dan ibadah-ibadah lainnya.

Ikhlas karena Allah swt merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan sebab Allah swt tidak akan menerima amal perbuatan kecuali yang paling tulus dan benar.

Jadi Syarat diterimanya Amal ibadah adalah:
1. Ikhlas hanya mengharap Ridha Allah swt dan
2. Benar, adapun ukuran kebenarannya adalah mengikuti tuntunan Rasul (Itiba kepada Rasul) (Suber Syarah Riyadush Shalihin)
Baca Selengkapnya..