Malu Pada Allah
“Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Abu Daud)
Hadist ini memberikan petunjuk berharga kepada kita bahwa kendali moral itu terletak pada rasa malu. Jika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, niscaya pelanggaran hukum dan moral menjadi hal biasa, tanpa ada rasa bersalah dan dosa.
Malu pada tempatnya adalah kunci keutamaan. Rasa malu membuat seorang muslim bersikap hati-hati untuk tidak melanggar larangan Allah SWT. Rasa malu mengantarkan kita pada sikap Iffah, yaitu memelihara diri dari sifat tidak terpuji dan menjaga martabat bagi seorang muslim, sehingga kita selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa.
Rasulullah pernah memberikan nasihat kepada para sahabatnya, “Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Para sahabat menimpali, “Allhamdulilah kami sudah merasa malu kepada Allah.” Rasulullah lalu menyatakan, “Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul mersa malu kepada Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiranya), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana, siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah.”(HR. At-Tirmidzi).
Sungguh kesadaran untuk merasa malu kepada Allah itu sangat penting, baik bagi rakyat, lebih-lebih bagi pejabat. Sebagai rakyat kita merasa malu kepada Allah karena belum sepenuhnya mampu menaati perintah dan larangan-Nya dan belum mampu berbuat banyak untuk kemajuan bangsa. Para pejabat mestinya juga merasa malu kepada Allah karena banyak amanah rakyat yang belum di wujudkan. Janji-janji sewaktu kampanye belum banyak dilaksanakan. Kebijakan yang diambil masih banyak melukai rasa keadilan rakyat.
Malu itu perisai diri. Merasa malu kepada Allah berarti membentengi diri dengan meneladani akhlak Allah sebagaimana tercermin dalam Asmaul Husna. Rasulullah adalah teladan pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah yang sangat tinggi, sehingga beliau tidak mau merepotkan rakyatnya.
Jadi, mari kita malu pada tempatnya. Malu jika anak kita rajin shalat, sementara kita tidak. Malu jika banyak anak negri ini tidak dapat bersekolah, sementara kita yang kebetulan wakil rakyat atau pejabat publik sibuk minta fasilitas. *Republika
Hadist ini memberikan petunjuk berharga kepada kita bahwa kendali moral itu terletak pada rasa malu. Jika seseorang sudah tidak lagi memiliki rasa malu, niscaya pelanggaran hukum dan moral menjadi hal biasa, tanpa ada rasa bersalah dan dosa.
Malu pada tempatnya adalah kunci keutamaan. Rasa malu membuat seorang muslim bersikap hati-hati untuk tidak melanggar larangan Allah SWT. Rasa malu mengantarkan kita pada sikap Iffah, yaitu memelihara diri dari sifat tidak terpuji dan menjaga martabat bagi seorang muslim, sehingga kita selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa.
Rasulullah pernah memberikan nasihat kepada para sahabatnya, “Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Para sahabat menimpali, “Allhamdulilah kami sudah merasa malu kepada Allah.” Rasulullah lalu menyatakan, “Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul mersa malu kepada Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiranya), menjaga perut berikut isinya (makanan), dan hendaklah mengingat mati dan bencana, siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul mempunyai rasa malu kepada Allah.”(HR. At-Tirmidzi).
Sungguh kesadaran untuk merasa malu kepada Allah itu sangat penting, baik bagi rakyat, lebih-lebih bagi pejabat. Sebagai rakyat kita merasa malu kepada Allah karena belum sepenuhnya mampu menaati perintah dan larangan-Nya dan belum mampu berbuat banyak untuk kemajuan bangsa. Para pejabat mestinya juga merasa malu kepada Allah karena banyak amanah rakyat yang belum di wujudkan. Janji-janji sewaktu kampanye belum banyak dilaksanakan. Kebijakan yang diambil masih banyak melukai rasa keadilan rakyat.
Malu itu perisai diri. Merasa malu kepada Allah berarti membentengi diri dengan meneladani akhlak Allah sebagaimana tercermin dalam Asmaul Husna. Rasulullah adalah teladan pemimpin yang memiliki rasa malu kepada Allah yang sangat tinggi, sehingga beliau tidak mau merepotkan rakyatnya.
Jadi, mari kita malu pada tempatnya. Malu jika anak kita rajin shalat, sementara kita tidak. Malu jika banyak anak negri ini tidak dapat bersekolah, sementara kita yang kebetulan wakil rakyat atau pejabat publik sibuk minta fasilitas. *Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar